1.
Adam Malik ( mewakili Indonesia
)
Adam
Malik Batubara
(lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67 tahun) adalah
mantan Menteri Indonesia pada beberapa Departemen, antara lain ia pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga. Adam Malik ditetapkan
sebagai salah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia
pada tanggal 6 November 1998 berdasarkan Keppres Nomor 107/TK/1998.[1]
Latar belakang kehidupan
Adam
Malik adalah anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis.
Ayahnya, Abdul Malik, adalah seorang pedagang kaya di Pematangsiantar. Adam
Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Adam
Malik menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School Pematangsiantar. Ia
melanjutkan di Sekolah Agama Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena
kemudian pulang kampung dan membantu orang tua berdagang.
Keinginannya
untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik untuk pergi merantau
ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna
memelopori berdirinya Kantor
Berita Antara.
Karier
Kariernya
diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan
kebangsaan yang dilakukannya secara autodidak. Di masa mudanya, ia sudah aktif ikut
pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui
pendirian Kantor Berita Antara yang berkantor pada waktu
itu di Buiten Tijgerstraat 38 Noord Batavia (Jl. Pinangsia II Jakarta Utara)
kemudian pindah JI. Pos Utara 53 Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sebagai Direktur diangkat Mr. Soemanang, dan Adam Malik menjabat Redaktur merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu
meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka
menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering
menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Tahun 1941
sebagai utusan Mr. Soemanang bersama Djohan Sjahroezah datang ke rumah Sugondo Djojopuspito minta agar Soegondo
bersedia menjadi Direktur Antara, dan Adam Malik tetap sebagai Redaktur
merangkap Wakil Direktur.
Pada
tahun 1934-1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941
menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta.
Pada 1945, menjadi anggota Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan
Indonesia di Jakarta.
Di
zaman penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif
bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17
Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, ia pernah membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di
lapangan Ikada, Jakarta.
Mewakili
kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan Komite Van Aksi, terpilih sebagai
Ketua III Komite
Nasional Indonesia Pusat (1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan
pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah pendiri dan anggota Partai
Rakyat,
pendiri Partai Murba, dan anggota
parlemen.
Tahun 1945-1946 ia menjadi anggota Badan Persatuan Perjuangan di Yogyakarta.
Kariernya semakin menanjak ketika menjadi Ketua II Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP), sekaligus merangkap jabatan sebagai anggota Badan Pekerja KNIP.
Pada tahun 1946, Adam Malik mendirikan Partai Rakyat, sekaligus menjadi
anggotanya. 1948-1956, ia menjadi anggota dan Dewan Pimpinan Partai Murba. Pada
tahun 1956, ia berhasil memangku jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR-RI) yang lahir dari hasil pemilihan umum.
Karier
Adam Malik di dunia internasional terbentuk ketika diangkat menjadi Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk negara Uni Soviet dan Polandia. Pada tahun 1962, ia menjadi Ketua Delegasi
Republik Indonesia untuk perundingan Indonesia dengan Belanda mengenai wilayah Irian Barat di Washington D.C, Amerika Serikat. Yang kemudian pertemuan tersebut
menghasilkan Persetujuan Pendahuluan mengenai Irian Barat. Pada bulan September
1962, ia menjadi anggota Dewan Pengawas Lembaga di lembaga yang
didirikannya,yaitu Kantor Berita Antara. Pada tahun 1963, Adam Malik pertama
kalinya masuk ke dalam jajaran kabinet, yaitu Kabinet yang bernama Kabinet Kerja IV sebagai Menteri
Perdagangan
sekaligus menjabat sebagai Wakil Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi (KOTOE). Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis
Indonesia,
Adam Malik bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Abdul Haris Nasution dianggap sebagai musuh PKI
dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi.
Ketika
terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan
kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966,
Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia
menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang
menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Pada tahun 1964, ia
mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Delegasi untuk Komisi Perdagangan dan
Pembangunan di PBB. Pada tahun 1966, kariernya semakin gemilang ketika
menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) sekaligus sebagai Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II.
Karier
murninya sebagai Menteri Luar Negeri dimulai di kabinet Ampera I pada tahun 1966. Pada tahun 1967, ia kembali
memangku jabatan Menteri Luar Negeri di kabinet Ampera II. Pada tahun 1968, Menteri Luar Negeri dalam kabinet Pembangunan I, dan tahun 1973 kembali
memangku jabatan sebagai Menteri Luar Negeri untuk terakhir kalinya dalam kabinet Pembangunan II. Pada tahun 1971, ia
terpilih sebagai Ketua Majelis Umum PBB ke-26, orang Indonesia pertama dan
satu-satunya sebagai Ketua SMU PBB. Saat itu dia harus memimpin persidangan PBB
untuk memutuskan keanggotaan RRC di PBB yang hingga saat ini masih tetap
berlaku. Karier tertingginya dicapai ketika berhasil memangku jabatan sebagai Wakil
Presiden RI
yang diangkat oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1978. Ia merupakan Menteri Luar Negeri
RI di urutan kedua yang cukup lama dipercaya untuk memangku jabatan tersebut
setelah Dr. Soebandrio. Sebagai Menteri Luar
Negeri dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam
berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk penjadwalan ulang utang
Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori
terbentuknya ASEAN tahun 1967.
Sebagai
seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, Adam Malik sering mengatakan “semua bisa
diatur”. Sebagai diplomat ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas
segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi
perkataan “semua bisa diatur” itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa
di negara ini “semua bisa di atur” dengan uang.
Meninggal dunia
Setelah
mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Jenazahnya dikebumikan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kemudian, isteri dan anak-anaknya mengabadikan
namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan
berbagai tanda kehormatan. Atas jasa-jasanya, Adam Malik dianugerahi berbagai
macam penghargaan, diantaranya adalah Bintang Mahaputera kl. IV pada tahun
1971, Bintang Adhi Perdana kl.II pada tahun 1973, dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998.
2. Tun
Abdul Razak ( mewakili Malaysia )
Tun Haji Abdul Razak bin Datuk Haji Hussein Al-Haj (lahir di Pulau Keladi, Pekan, Pahang, Malaysia, 11 Maret 1922 – meninggal di London, Inggris, 14 Januari 1976 pada umur 53 tahun) adalah Perdana Menteri Malaysia ke-2, mulai tahun 1970 hingga 1976, menggantikan Tunku Abdul Rahman.
Tun Haji Abdul Razak bin Datuk Haji Hussein Al-Haj (lahir di Pulau Keladi, Pekan, Pahang, Malaysia, 11 Maret 1922 – meninggal di London, Inggris, 14 Januari 1976 pada umur 53 tahun) adalah Perdana Menteri Malaysia ke-2, mulai tahun 1970 hingga 1976, menggantikan Tunku Abdul Rahman.
Selain
dikenal sebagai salah seorang tokoh pendiri Malaysia, ia juga penggagas Dasar Ekonomi Baru, suatu program
kontroversial untuk memajukan perekonomian orang Melayu di Malaysia agar sejajar dengan kaum keturunan Tionghoa
dan Tamil. Ia juga pendiri Barisan Nasional pada tahun 1973.
Tun
Abdul Razak merupakan anak sulung Dato' Hussein bin Mohd. Taib dan Hajah Teh
Fatimah binti Daud. Ia memiliki darah bangsawan Bugis yang datang ke Malaya pada abad ke-19. Salah
seorang putranya, Najib Tun Razak, adalah Perdana Menteri
Malaysia sejak 3 April 2009. Tun Abdul Razak wafat saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri pada tanggal 14 Januari 1976 karena menderita leukemia.
Pendidikan
Pada
tahun 1934, Beliau mendapat pendidikan awal di Sekolah Tinggi Melayu Kuala
Kangsar dan merupakan seorang pelajar yang cemerlang.
Setelah
menjabat sebagai Pegawai Tadbir Melayu di Sekolah Tinggi Melayu Kuala Kangsar
pada tahun 1939, ia dianugerahi beasiswa untuk melanjutkan studi di Sekolah
Tinggi Raffles, Singapura pada 1940. Pembelajarannya di akademi tersebut
dilanjutkan lagi karena pecahnya Perang Dunia II.
Melalui
beasiswa Konfrontasi, Tun Ruzak melanjutkan pelajarannya dalam bidang
undang-undang pada tahun 1947 di Inggris. Pada tahun 1950, beliau menerima
Degree of an utter Barrister dari Lincoln's Inn. Semasa di England, Tun Razak
merupakan anggota Partai Buruh Inggris dan seorang pemimpin
pelajar Uni Melayu Great Britain yang terkenal. Beliau juga mendirikan Malayan
Forum,
satu organisasi untuk pelajar-pelajar Melayu yang membicarakan mengenai isu
politik negara mereka.
Jejak dan Karier Abdul Razak
Sekembalinya
ke tanah air, Tun Razak bergabung Pelayanan Publik Malaya. Tun Razak adalah
seorang yang berkaliber dalam politik, ini terbukti karena pada tahun 1950 ia
dilantik menjadi Ketua Pemuda Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). Dua tahun kemudian, ia
menjadi Sekretaris Kerajaan Barat dan pada Februari 1955, pada usia 33 tahun, ia
menjadi Menteri Besar Pahang. Beliau tanding dan menang dalam pemilu negara
yang pertama pada Juli 1955 dan dilantik menjadi Menteri Pendidikan. Tun Razak
juga merupakan anggota rombongan ke London untuk menuntut kemerdekaan
dari Inggris pada Februari 1956.
Setelah
pemilu 1959, beliau menjadi Menteri Pembangunan Luar Kota disamping mengemban
tugas-tugasnya sebagai Wakil
Perdana Menteri Malaysia dan Menteri Pertahanan Malaysia. Kejayaan yang dicapainya
termasuk merangka satu kebijakan pembangunan yang meliputi setiap kebutuhan
negara, yang dikenal sebagai 'Buku Merah'. Pada September 1970, Tun Razak menggantikan Tunku Abdul
Rahman Putra
sebagai Perdana Menteri
Malaysia.
Tun
Abdul Razak juga dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam melancarkan
Kebijakan Ekonomi Baru (DEB) pada tahun 1971. Beliau dan "generasi
kedua" ahli politik Melayu melihat akan perlunya
untuk menyelesaikan perbedaan ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh korban
rasisme. DEB meletakkan dua tujuan dasar - untuk mengurangi dan menghapuskan
kemiskinan tanpa mengira kaum dan menyusun kembali kegiatan ekonomi.
Tun
Abdul Razak mendirikan Barisan Nasional pada 1 Januari 1973 untuk menggantikan
partai berkuasa, Partai Aliansi. Beliau telah berhasil menambah jumlah anggota
partai dan menghasilkan perpaduan untuk membentuk ketahanan nasional melalui
stabilitas politik.
Tun
Abdul Razak dikenal sebagai Bapak Pembangunan Malaysia untuk menghargai segala
sumbangannya di dalam pembangunan nasional dan luar kota.
3.
Thanat Koman ( mewakili Thailand )

Thanat Khoman (Thanad; Thai ถนัด คอมันตร์, lahir 9 February 1914 di Bangkok) adalah mantan politisi Thai dan merupakan Menteri luar negeri pada tahun 1959 to 1971.
Awal Mula
Thanat berasal dari keluarga Thailand-Cina . Beliau memperoleh gelar sarjana di Assumption University di Bangkok pada tahun 1940 , kemudian melanjutkan studi untuk gelar Master di bidang Hukum di UniversitasBordeaux , dan juga menyelesaikan gelar doktor di Universitas Paris , Prancis .Setelah Perang Dunia II , ia memegang sejumlah pos diplomatik , dan dipromosikan pada tahun 1957 sebagai duta besar untuk Amerika Serikat . Pada 10 Februari 1959 ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Thailand dalam pemerintahan Perdana Menteri Sarit Dhanarajata .
Karier
Pada tahun 1960 , Thanat memainkan peran penting dalam mediasi antara Indonesia dan Malaysia . Pemilihan Bangkok sebagai tempat pendiri ASEAN ( Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara ) pada bulan Agustus 1967 adalah ekspresi penghormatan terhadap peran aktif dalam pembentukan lembaga ini . Pada 17 November 1971 ia mengundurkan diri jabatannya setelah kudeta .Setelah pengunduran dirinya sebagai menteri luar negeri, Thanat masuk politik negara pada tahun 1979 dan adalah ketua Democratic Party ( sampai tahun 1982 ) . Antara 1980 dan 1982 ia juga Wakil Perdana Menteri . Pada tahun 1982 , ia pensiun dari dunia politik .
4.
Narcisco
Ramos ( mewakili Filipina )

Narciso Rueca Ramos (lahir di Asingan, Pangasinan, 11 November 1900 – meninggal di Manila, 3 Februari 1986 pada umur 85 tahun[1]) adalah seorang diplomat, mantan politikus Filipina (pernah menjadi anggota legislatif selama 5 periode)[1], mantan pengacara dan wartawan. Anaknya, Fidel Ramos, adalah juga mantan Presiden Filipina. Dari 1965 ke 1968, Narciso Ramos menjadi Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan Ferdinand Marcos.
Dalam kapasitas sebagai Menteri Luar Negeri, ia pada 8 Agustus 1967 menghadiri pertemuan di Bangkok yang juga dihadiri oleh 4 menteri luar negeri lainnya: Adam Malik (Indonesia), S. Rajaratnam (Singapura), Tun Abdul Razak (Malaysia) dan Thanat Khoman (Thailand). Pada hari itu pulalah Narciso Ramos dan keempat menteri luar negeri lainnya menandatangani deklarasi pembentukan ASEAN. Narciso Ramos menjadi orang pertama yang memberikan sambutan dalam acara deklarasi tersebut. Ia mengatakan bahwa negosiasi yang telah dilakukan benar-benar menuntut niat baik, imajinasi, kesabaran dan saling memahami di antara kelima menteri luar negeri yang hadir.
5.
S.
Rajaratnam ( mewakili Singapura)

Sinnathamby Rajaratnam (lahir di Jaffna, Sri Lanka, 25 Februari 1915 – meninggal di Singapura, 22 Februari 2006 pada umur 90 tahun), lebih dikenal sebagai S Rajaratnam, adalah mantan politikus Singapura.
Anak kedua dari keluarga etnis Tamil ini lahir di Jaffna, Sri Lanka. Ia bekerja sebagai jurnalis The Straits Times pada era 1950-an. Ia menikah dengan Piroska Feher, guru asal Hongaria, yang dijumpainya di London.
Pada 1959, Rajaratnam beralih karier menjadi seorang politikus dan bergabung dengan Partai Aksi Rakyat. Posisi-posisi yang dijabatnya ialah Menteri Kebudayaan (1959–1965), Menteri Luar Negeri (1965–1980), Menteri Perindustrian (1968–1971), Wakil Perdana Menteri (1980–1985), dan Menteri Senior hingga masa pensiunnya pada 1988. Ia lalu bekerja di Institut Studi Asia Tenggara hingga 1996. Saat bertugas sebagai menteri luar negeri, ia merupakan salah satu dari lima "bapak pendiri" ASEAN pada 8 Agustus 1967.
Pada 1966, setahun setelah kemerdekaan Singapura, Rajaratnam menulis Ikrar Kebangsaan (National Pledge).
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar